PADA millenium 2000, sejarah dunia
tengah memasuki pintu gerbang abad 21. Pada saat itu, lebih dari
setengah abad, Indonesia telah menam-pakkan jati dirinya di atas
panggung sejarah dunia, dengan berdiri tegak di atas sistem Pancasila,
dan bernaung di bawah sayap burung garuda. Sepanjang kurun waktu
tersebut, Indonesia telah mengalami tiga periode pemerintahan dan dua
kali pergantian UUD. Pertama, Indonesia di bawah pemerintahan rezim
Soekarno, yang dikenal dengan orde lama. Pada masa itu, diberlakukan UUD
1945, UUDS 1950, dan akhirnya kembali lagi ke UUD 1945. Periode kedua,
masa berkuasanya orde baru di bawah sistem militerisme pimpinan Jenderal
Soeharto. Dan periode ketiga, adalah masa-masa transisi, yang disebut
orde reformasi dengan presidennya, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibi.
Dalam rentang waktu setengah abad lebih
Indonesia merdeka, dominasi nasionalis sekuler dalam percaturan politik
nasional, bagaimanapun juga telah menjadi penyebab semakin
terpinggir-kannya peran agama dalam pengelolaan negara. Jargon-jargon
politik yang sengaja dilansir oleh para politisi sekuler menunjukkan hal
itu.
Di dalam kerangka idiologi yang
diletakkan kaum sekuler, tuduhan bahwa agama merupakan penyebab pokok
instabilitas konstitusional, atau menganggap isu agama sebagai
sektarian, primor-dial dan sebagainya, menjadi isu yang semakin hari
makin melemahkan posisi agama dan kaum agamawan berhadapan dengan
lembaga negara. Lalu mereka sampai kepada kesimpulan, supaya jangan
membawa-bawa agama dalam urusan politik.
Nyata bahwa kesemuanya ini merupakan
skenario yang sudah dipersiapkan. Maka menjadi pemandangan yang wajar,
keikutsertaan kalangan politisi dalam masalah keagamaan ditolerir, tapi
bagi kalangan agamawan yang ikut-ikut terlibat dalam urusan politik
dicemooh. Dalam kerangka ini pula, menjadi tidak aneh ketika baru-baru
ini kita mendengar adanya sekelompok organisasi pemuda Islam (PMII) di
Surabaya, melakukan demonstrasi menuntut pembubaran MUI yang mereka
nilai, ikut-ikutan dalam politik praktis.
Perdebatan-perdebatan idiologis di
tingkat nasional, yang seringkali melibatkan petualang- petualang
politik Islam, justru mengokohkan program sekularisme. Lontaran Amin
Rais, pada tahun 80-an, yang mengatakan, “Tidak ada Negara Islam dalam
al-Qur’an”, adalah contoh konkrit. Sebuah artikel berjudul “Negara Islam
hanya Mimpi” memberitakan pidato Menag. Munawir Sazali. Dalam
kedudukannya sebagai menteri agama, Munawir Sazali berkata:”Saya tidak
melihat perbe-daan antara Mitsaq Madinah -konstitusi pertama yang dibuat
Nabi- dengan UUD 1945. Kesim-pulannya, negara kita ini sudah memenuhi
syarat. Itu berarti, umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila
sebagai bentuk final dari perjuangan aspirasi umat”. 1
Senada dengan pernyataan di atas,
adalah fatwa mantan Rais ‘Am PBNU, KH. Ahmad Siddiq. “Hendaknya umat
Islam di Indonesia menerima negara Pancasila sebagai bentuk final dari
per-juangan aspirasi politik umat. Jangan negara Pancasila ini hanya
dijadikan sasaran menuju sasaran yang lain”, katanya.
Buntut logis dari pernyataan di atas, munculnya klaim bahwa, Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, seperti yang dinyatakan Soeharto pada peringatan Maulid Nabi di Istana negara, 24 November 1985.
Jelas bahwa di Indonesia, sikap
penguasa terhadap fenomena agama bersifat ambivalen. Di satu segi, agama
dipandang sebagai tiang pokok untuk menciptakan manusia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi di segi lainnya, tak satu agama pun
yang dianggap istimewa. Oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki agama
resmi negara, sekalipun penganut Islam menempati posisi mayoritas di
negeri ini.
Maka cukup mencengangkan ucapan Katib ‘Am PBNU, Said Agil Siradj ketika merespons adanya keinginan dari partai-partai Islam membentuk fraksi Islam di DPR hasil pemilu 1999. Ia mengatakan: ”Bahwa pembentukan fraksi Islam adalah peng-khianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan”.2
Kombinasi dari semua ini, pada
gilirannya, menandai awal pencemaran idiologis yang, secara langsung,
ikut mempromosikan doktrin Zionisme atau paham Freemasonry. Prinsip
dasar gerakan Freemasonry adalah, pertama mengambangkan keyakinan umat
beragama, sehingga mereka menganggap semua agama itu sama, semua agama
itu baik. Kedua, mendorong toleransi antar pemeluk agama, misalnya
mengadakan natal bersama, saling mengirimi kartu ucapan selamat hari
besar agama dan lain-lainnya. Selanjutnya, hidup rukun dan bekerjasama
antara umat beragama. Wujud konkrit-nya, bisa dalam bentuk do’a bersama,
bergantian membaca do’a di satu tempat, menurut keyakinan agamanya
masing-masing. Perlunya sering-sering mengadakan diskusi antar tokoh
agama untuk menemukan persamaan dan meminimalkan per-bedaan.
Sikap ambivalen dan hipokrit yang akan
tercipta dari suasana seperti ini, adalah harapan yang diidam-idamkan
kaum Zionis dan Freemasonry. Kecurigaan ini bukannya tanpa hujjah.
Dr. Ali Gharishah, ketua Islamic Center di Jerman Barat, tokoh ikhwanul Muslimin yang termasuk black list CIA, membongkar sebuah dokumen rahasia, yang kemudian dicantumkan dalam bukunya: Du’atun La Bughatun, di alih bahasakan menjadi “Da’i Bukan Teroris”. Dokumen dimaksud ditulis pada masa rezim Anwar Sadat masih berkuasa, oleh Richard B. Michel, anggota intelegen Amerika (CIA).
Dr. Ali Gharishah, ketua Islamic Center di Jerman Barat, tokoh ikhwanul Muslimin yang termasuk black list CIA, membongkar sebuah dokumen rahasia, yang kemudian dicantumkan dalam bukunya: Du’atun La Bughatun, di alih bahasakan menjadi “Da’i Bukan Teroris”. Dokumen dimaksud ditulis pada masa rezim Anwar Sadat masih berkuasa, oleh Richard B. Michel, anggota intelegen Amerika (CIA).
Isi dokumen tersebut adalah, usulan strategi menghadapi tokoh-tokoh Islam yang masih aktif dalam perjuangan Islam, antara lain:
- Mencurahkan pikiran mereka, tokoh-tokoh Islam itu, untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang non Islam, kemudian merusak usaha tersebut melalui yayasan mereka.
- Mencurahkan pikiran mereka, tokoh-tokoh Islam itu, untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang non Islam, kemudian merusak usaha tersebut melalui yayasan mereka.
- Menghabiskan waktu mereka dalam pekerjaan mencetak dan menerbitkan buku-buku Ke-Islaman, kemudian berusaha menjatuhkan hasil pekerjaan mereka itu.
- Menyebarkan rasa kecurigaan di antara para pemimpin Islam, sehingga mereka tidak sempat melaksanakan program mereka.
Bukan itu saja. Mereka juga mengarahkan tipu daya -makarnya- kepada generasi muda kaum muslimin dengan cara sebagai berikut:
- Mengupayakan supaya pemuda-pemuda Islam terjerumus ke dalam upacara-upacara peri-badatan, sehingga terlepas dari missi perjuangan Islam yang hakiki.
- Menumbuhkan kesangsian terhadap sunnah Muhammad serta sumber-sumber ajaran Islam lainnya.
- Memecah belah organisasi dan jama’ah Islami-yah, dengan menanamkan benih perselisihan di dalam maupun di luar organisasi itu.
- Mengupayakan supaya pemuda-pemuda Islam terjerumus ke dalam upacara-upacara peri-badatan, sehingga terlepas dari missi perjuangan Islam yang hakiki.
- Menumbuhkan kesangsian terhadap sunnah Muhammad serta sumber-sumber ajaran Islam lainnya.
- Memecah belah organisasi dan jama’ah Islami-yah, dengan menanamkan benih perselisihan di dalam maupun di luar organisasi itu.
Menghadapi aktivitas generasi muda
Islam, khususnya kaum wanita yang berpegang teguh mengenakan busana
muslimah, harus di hadapi melalui saluran informasi dan kultural secara
timbal balik.
Demikianlah strategi menghancurkan Islam, yang diusulkan Richard B. Michel kepada kepala dinas rahasia (CIA) di pusat intelegen Amerika. Benar-benar suatu usulan syetani yang diungkap-kan dengan nada benci dan melecehkan. Mereka sengaja menina bobokkan kita dengan usaha-usaha dakwah, penerbitan dan lain-lain, kemudian berusaha merusak usaha tersebut melalui yayasan pemberi bantuan atau melalui tangan-tangan penguasa. Seakan hanya dengan sekali ayunan tangan mereka dapat menghancurkan kita, dan dengan satu gerakan saja dapat meluluh lantakkan usaha-usaha kaum muslimin. Sungguh hal ini merupakan sentakan kasar yang mengagetkan syaraf-syaraf kita.
Apabila orang-orang kafir melakukan
makar, baik dengan kata maupun perbuatan, kita tidak perlu panik. Akan
tetapi, jika orang-orang Islam sendiri melakukan hal yang sama, dan
secara sadar atau tidak, program-program Zionis itu keluar dari mulut
tokoh-tokoh Islam, ulama maupun cende-kiawan muslim, sungguh hal ini
tidak dapat dimaafkan. Sebab setiap orang yang menyibukkan kaum muslimin
dengan sesuatu yang tidak dalam rangka menegakkan Islam, pasti ia
seorang munafiq yang bersekongkol dengan musuh Islam.
Ekses Terapan Pancasila di Masa Orla dan Orba
SOEKARNO
Seberapa besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap. Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita ilustrasikan bagaimana penerapan idiologi Panca-sila selama dua periode pemerintahan di Indonesia.
Di zaman orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup. Kekua-saan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mere-duksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasio-nalisme, Komunisme dan Agama) sebagai aplikasi idiologi Pancasila.
Seberapa besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap. Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita ilustrasikan bagaimana penerapan idiologi Panca-sila selama dua periode pemerintahan di Indonesia.
Di zaman orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup. Kekua-saan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mere-duksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasio-nalisme, Komunisme dan Agama) sebagai aplikasi idiologi Pancasila.
Selama 20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan yang subur bagi golongan-golongan anti Islam; seperti Zionisme, Free-masonry, Salibisme, komunisme,3) paganisme, sekularisme serta kelompok Yes Man. Sebaliknya, bagi orang-orang yang bersikap kritis, taat ber-agama, dan bercita-cita membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia ketika itu bagaikan neraka. Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, dituduh kontra revolusi dan menjadi mangsa penjara.
Sebagai akibatnya, kezaliman politik, kerun-tuhan akhlak, kebencian antar warga masyarakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat dalam menindas yang lemah menjadi trade merk pemerintah orde lama.
Dan akibat selanjutnya, sepanjang kurun waktu orde lama, tidak pernah sepi dari perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah terhadap penguasa pusat.4)
Penerapan idiologi Pancasila dari masa
ke masa, dan pada setiap periode pemerintahan yang berbeda-beda, selalu
menimbulkan korban yang tidak kecil. Pembunuhan demokrasi, pemerkosaan
hak asasi manusia, adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan
Pancasila oleh penguasa. Di negara Pancasila, seseorang bisa dipenjara
bertahun-tahun lamanya tanpa proses pengadilan dengan tuduhan menentang
Pancasila atau merongrong wibawa pemerintah yang sah. Dan bila penguasa
menghendaki, atas nama Pancasila, seseorang bisa kehilangan hak-hak
sipil maupun politiknya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Dalam hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah dicoret-nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lalu menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuh kalimat yang dicoret secara sepihak itu, pada mulanya dinilai sebagai perjanjian moral antara umat Islam dan non Islam. Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin republik terhadap janjinya, telah menyulut api pemberontakan dan menyebab-kan kepercayaan rakyat mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat.
Di antara bentuk pengkhianatan rezim
orla terhadap janji yang diucapkan atas nama peme-rintah Pancasila, dan
hingga kini membawa akibat buruk bagi bangsa Indonesia, adalah kasus
pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh
ulama seluruh Aceh (PUSA) berserta para pengikutnya. Peng-khianatan
pemerintah orde lama itu, dengan jelas terlihat dalam dialog antara
Tengku Daud Beureueh dan presiden Soekarno. Bagian terakhir dari dialog
tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut:5)
Presiden:” Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945”.
Daud Beureueh:” Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid”.
Presiden:”Kakak! Memang yang saya maksud-kan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang ber-semboyan “merdeka atau syahid”.
Daud Beureueh:”Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya”.
Presiden:”Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam”.
Daud Beureueh : ”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami meng-inginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”.
Presiden : ”Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.
Daud Beureueh : ”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Sdr. Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.
Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud
Beureueh itu langsung Presiden Soekarno me-nangis terisak-isak. Air
matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan
terisak-isak Presiden Soekarno berkata,”Kakak! Kalau begitu tidak ada
gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak
dipercaya”.
Langsung saja Tengku Daud Beureueh men-jawab: ”Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”.
Lantas Presiden Soekarno, sambil
menyeka air matanya berkata,”Wallahi, Billahi,6) kepada daerah Aceh
nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai
dengan syari’at Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya
agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di
dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga ?”Dijawab oleh
Tengku Muhammad Daud Beureueh:”Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden.
Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih
atas kebaikan hati Saudara Presiden”.
Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud
Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presiden menangis
terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di
atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu”.
Dari dialog di atas, kita bisa maklum bahwa, secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi dengan penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia me-lawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku syari’at Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI.
Akan tetapi, meski Soekarno telah
berjanji dengan berurai air mata, ternyata ia ingkar dan tidak konsekuen
terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan
suara masygul, Daud Beureueh pernah berkata:”Sudah ratusan tahun
syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung
dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan
pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh. Maka sejak
itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh.7)
Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki. Dia berkata:”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedang negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang.
Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki. Dia berkata:”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedang negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang.
Maka sebagaimana Kemal Attaturk, dalam
suatu pidatonya di Amuntai Kalimantan Selatan, 1954, Soekarno juga
pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik
Indonesia.
Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rakyat Aceh, dan menolak berlakunya syari’at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. ”Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya,”jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia”, katanya. Pengakuan ini diungkapkan di hadapan sidang BPUPKI.
Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: ”Tetapi pada tahun 1918, alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut”.
Berdasarkan tela’ah dari berbagai karya
tulis, pidato serta riwayat hidup Bungkarno, kita menjadi paham, bahwa
prinsip idiologi yang dikem-bangkannya merupakan kombinasi dari paham
kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi dari
keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bungkarno, yang terkenal dengan
Marhaenisme, akronim dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini
sangat berpengaruh terhadap aplikasi idiologi Pancasila selama masa
kekuasaannya.
Setelah berkuasa lebih dari 20 tahun lamanya, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh, dan riwayat hidupnya berakhir nista, terpuruk dari singgasana kekuasaan dan mati dalam keadaan sakit parah serta merana.
SOEHARTO
Kemudian Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, melalui Supersemar, 1966. Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan dominasi PKI di hancurkan, dapat dilakukan reformasi hukum dan politik secara total. Tetapi harapan itu tidak pernah terwujud, hingga ia lengser dari kekuasaan, 21 Mei 1998 lalu. Indonesia di masa orde baru, bukan saja otoriter, tetapi hampir seluruh lembaga pemerintahan penuh dengan perdukunan, takhayul dan mistik. Kebijakan pemerintahannya, banyak dipengaruhi oleh rekayasa paranormal. Berbeda dengan Bung karno, Soeharto malah mengembangkan idiologi yang merupakan ramuan dari jiwa Nasionalisme dan paganisme.
Kemudian Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, melalui Supersemar, 1966. Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan dominasi PKI di hancurkan, dapat dilakukan reformasi hukum dan politik secara total. Tetapi harapan itu tidak pernah terwujud, hingga ia lengser dari kekuasaan, 21 Mei 1998 lalu. Indonesia di masa orde baru, bukan saja otoriter, tetapi hampir seluruh lembaga pemerintahan penuh dengan perdukunan, takhayul dan mistik. Kebijakan pemerintahannya, banyak dipengaruhi oleh rekayasa paranormal. Berbeda dengan Bung karno, Soeharto malah mengembangkan idiologi yang merupakan ramuan dari jiwa Nasionalisme dan paganisme.
Maka jelas terlihat, prestasi paling
spektakuler rezim Soeharto, adalah keberhasilannya menjadikan idiologi
Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Di zaman Soeharto lah idiologisasi Pancasila mulai
dikem-bangkan melalui penataran P4 (Pedoman Peng-hayatan dan Pengamalan
Pancasila), dan menjadi-kannya sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, Soeharto telah memposisikan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Sejak awal berkuasa,1966, Soeharto dan
kemu-dian GOLKAR yang menjadi kendaraan politiknya, mengusulkan paket
undang-undang politik, yang salah satu diktumnya menyatakan, bahwa
parpol dan ormas harus berasaskan idiologi Pancasila dan UUD 1945. Akan
tetapi usulan ini mendapat tantangan keras dari ummat Islam, sehingga
baru pada 1982 usulan tersebut menjadi kenyataan.
Untuk hal ini, Soeharto pernah dengan bangga mengatakan di depan sidang paripurna DPR, 16 Agustus 1987 : ”Dengan lega hati kita dapat mengatakan, di bidang idiologi dan politik, kita telah berhasil meletakkan kerangka landasan yang kita perlukan. Sejarah kelak akan membuktikan juga ketidak benaran anggapan bahwa ABRI tidak akan dapat mendorong pertumbuhan demokrasi”.
Mengenai idiologi Soeharto berkata: ”Kalau para pemuda mempelajari idiologi selain Pancasila, serta idiologi-idiologi keagamaan, maka mereka akan menyadari kekurangan-kekurangan idiologi tersebut; dan akan lebih percaya terhadap kebe-naran Pancasila”.
Dalam upaya melestarikan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka cukup menarik mendengarkan
pernyataan yang disam-paikan oleh seorang pejabat tinggi keamanan di
hadapan pimpinan parpol dan ormas, tentang tekadnya untuk menghancurkan
“Ekstrimis Muslim” benar-benar mencerminkan dendam militer yang tiada
habisnya terhadap kaum muslimin.
Dengan topik, “Situasi Keamanan
Menjelang Pemilu 1987”, Kasrem 072 Pamungkas, Yogyakarta, Letkol. Rudy
Sukarno mengatakan: ”Khusus masalah subversi dirasa perlu untuk
dihancurkan. Sebab bila tidak dihancurkan akan muncul visi-visi sebagai
pemberontakan. Maka lebih baik dicegah dulu dengan memberantas subversi
ini. Pem-bangunan sekarang harus berhasil. Kalau gagal, justru akan
memberi peluang kepada kaum subversi untuk menyebarkan pendapat, bahwa
idiologi Pancasila gagal dan tidak mampu men-sukseskan pembangunan.
Demikian pula halnya, bila terjadi kericuhan politik, yang dapat
diman-faatkan oleh oknum subversi untuk menyebar opini bahwasanya
politik Pancasila juga gagal mengatasi situasi politik”.8)
Dalam hubungan ini, agak mengherankan
seruan dari Mahkamah Agung, Ali Said, SH kepada seluruh pengadilan di
Indonesia. Ia mengatakan : ”Fenomena subversi, karupsi dan narkotika
semakin meningkat. Hakim-hakim yang menangani kasus-kasus tersebut harus
mampu melaksanakan langkah-langkah preventif secara refresif”.
Semua ini merupakan bukti nyata, betapa
gigihnya mereka mempertahankan sikap refresif tentara, dalam
menjalankan roda kekuasaan. Ketika pengadilan yang menangani kasus
subversi, tahun 85-an, berubah menjadi lembaga penghukuman. Dan ketika
menyaksikan ketidak beresan pengadilan dan kezaliman rezim orba terhadap
para tahanan politik, sungguh tepat ucapan Letjend. HR. Dharsono,
mantan Pangdam Siliwangi yang dipenjarakan dengan tuduhan subversi.
Ketika kasusnya disidangkan, dan tiba saatnya membacakan pledoi,
terdakwa Dharsono tampil dengan pledoi berjudul Menuntut Janji Orba, dan
mengatakan,”Sejarah telah mencatat bahwa, dalam pengadilan seperti ini,
terdakwa tidak pernah bebas atau menang, justru sebaliknya, sebagai
forum penyingkiran lawan-lawan politik”.
Dalam pledoinya, Dharsono memfokuskan
kritiknya kepada dua hal, yaitu pengasas tunggalan Pancasila dan
dwifungsi ABRI. Mengenai asas tunggal Dharsono mengatakan:”Pengasas
tung-galan Pancasila dan sistem pemilihan anggota DPR/MPR selama ini
tidak sesuai dengan UUD 45”. “Pancasila tidak bisa berjalan sendiri dan
diasas tunggalkan”, ujarnya. Muatan Pancasila terletak pada pengakuannya
akan kebhinekaan. Kemudian Dharsono mempertanyakan rele-vansi dari
dwifungsi ABRI. “Dwifungsi ABRI harus dipahami secara kontekstual. Sebab
ia bukanlah doktrin yang kaku dan mati, yang bisa diberlakukan
sepanjang zaman, tanpa melihat ruang sejarah ketika rumusan-rumusan itu
dicetuskan. Dengan alasan apapun, tidaklah bisa dibenarkan wujud
implementasi dwifungsi ABRI seperti yang ada sekarang ini”, katanya
tegas.9)
Seakan menjawab kritik Dharsono, dalam
suatu pidatonya Soeharto mengingatkan dengan kata-katanya: “ABRI
mempunyai dwifungsi, yakni sebagai kekuatan politik dan pertahanan
keamanan. Sebagai fungsi sospol, Soeharto menunjuk, telah ditetapkan
MPR. Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat merobah hakekat
ABRI yang mempunyai dwifungsi tersebut”.
Sebuah koran daerah, menurunkan berita
di bawah judul,”Usaha Untuk Mengurangi Keper-cayaan Terhadap Mandataris
MPR”, mengenai kritik terhadap kinerja MPR. Dalam hal ini, ketua MPR
Amir Mahmud mengatakan:”Isu yang men-deskreditkan orde baru terutama
datang dari paham atau aliran komunisme, Liberalisme dan Theokratisme
ala DI/TII. Paham yang tak cocok dengan alam Pancasila itu bertujuan
menghambat rencana tinggal landas yang telah menjadi strategi orde
baru”. (KR, 9 Juli 1986).
Musuh-musuh Orde Baru
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, ia banyak dihujat oleh rakyat, yang membuatnya amat murka. Dan yang paling membuatnya jengkel, adalah sikap LSM yang dinilai telah memburuk-burukkan citra Indonesia di luar negeri. Kemudian munculnya tulisan David Jenkin, wartawan Australia dalam The Sidney Morning Herald, berkisar tentang korupsi dan kekayaan Soeharto, yang dipandang sebagai pendeskreditan nama Kepala Negara oleh pers asing, berdasarkan informasi dari orang Indonesia.
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, ia banyak dihujat oleh rakyat, yang membuatnya amat murka. Dan yang paling membuatnya jengkel, adalah sikap LSM yang dinilai telah memburuk-burukkan citra Indonesia di luar negeri. Kemudian munculnya tulisan David Jenkin, wartawan Australia dalam The Sidney Morning Herald, berkisar tentang korupsi dan kekayaan Soeharto, yang dipandang sebagai pendeskreditan nama Kepala Negara oleh pers asing, berdasarkan informasi dari orang Indonesia.
Terhadap tuduhan ini Soeharto menjawab cerdik :”Berbagai isu yang dikarang oleh orang asing maupun Indonesia untuk mendeskreditkan saya, sama sekali tidak benar. Saya dan istri saya tidak berdagang sebagaimana yang diisukan mereka. Benar, sebagai kepala negara kami men-dapat sumbangan dari berbagai pihak. Dan sebagai pimpinan negara sumbangan itu diterima, kemu-dian dikelola oleh yayasan yang dibentuk oleh jend. purnawirawan Soeharto, guna membantu yatim piatu, janda yang suaminya gugur dalam per-tempuran Trikora-Dwikora, Tim-Tim serta mem-bangun tempat ibadah”.
Bukan hanya Soeharto yang marah ketika
berhadapan dengan kritik yang memojokkan dirinya. Leonardus Beny
Murdani, sebagai Pangab ketika itu, dengan sinis menyampaikan
kecamannya:”Kalau ada orang yang mengeluarkan ide untuk membatasi
wewenang Presiden, mengungkit-ungkit serangan Fajar di Yogyakarta, hak
asasi, korupsi dan ling-kungan yang dirusak. Saya rasa ini dilakukan
oleh orang yang kurang kerjaan. Atau, mungkin ingin cepat populer.
Tulisan atau isu yang mendeskredit-kan Presiden RI, selain tidak benar,
juga dilansir secara sentral, tetapi melaui mulut orang lain yang
dipakai. Siapa mereka? Pelaku-pelakunya sudah tahulah, orang-orang yang
tidak senang pada kita orba. Ya PKI, ya orang-orang yang tidak senang
pada orde baru”.
Siapakah musuh orba? Mereka itu,
katanya, adalah ekstrim kiri atau kanan, yakni mereka yang menentang
sistem calon tunggal dalam memilih presiden dan tidak setuju asas
tunggal. Mereka inilah yang tergolong musuh negara. Maka mulailah
pemerintah membungkam suara rakyat, dan menetapkan rambu-rambu yang
tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, dianggap merong-rong kewibawaan
pemerintah, dan dapat diper-salahkan melanggar UU No. 11 PNPS/ 63,
mengenai UU pemberantasan suversi. Di antara hal-hal yang tidak boleh
dikritik adalah, masalah Pancasila, lembaga kepresidenan, dwifungsi ABRI
dan kekayaan presiden beserta kroni-kroninya.
Dalam suatu pertemuan dengan para
perwira pembantunya, Soeharto mengungkapkan kekesalan hatinya, melihat
perkembangan situasi yang berani mempertanyakan posisi dirinya,
kemungkinan suksesi dan sebagainya.Untuk itu ia memerintahkan menteri
Dalam Negeri, Rudini untuk menertibkan pengeritik-pengeritik itu.
Beberapa lama setelah perintah diterima, agaknya Rudini belum berbuat
apa-apa, maka Soeharto memerintahkan Pangab Jend. Try Sutrisno untuk
mengambil tindakan tegas. Tapi Rudini, akhirnya memanggil beberapa
pim-pinan LSM. Cara pemerintah menangani pengeritiknya, membuat jengkel
mahasiswa. Maka dalam suatu perhelatan di kampus ITB, Rudini diundang
untuk membuka penataran P4. Itu terjadi pada tanggal 5 Agustus 1989.
Kedatangan Rudini, rupanya tidak
dikehendaki mahasiswa yang, menurut mereka ITB hanya dijadikan obyek
kompetisi mencari credit point bagi para menteri. Terjadilah
demonstrasi. Dan tercatat di sini, menteri-menteri yang pernah didemo
mahasiswa ITB antara lain: Adam Malik, Abdul Ghafur dilempari telur
busuk dan kotoran kerbau, Cosmas Batubara, Nugroho Notosusanto dan Fuad
Hasan. Dan kali ini, Rudini yang didemo maha-siswa. Di luar gedung
pertemuan bermunculan poster. Antara lain berbunyi: Ganyang antek-antek
penindas, jangan racuni putera-putera terbaik Indonesia dengan P4.
Rudini penipu rakyat, dibodohi gubernur Yogi S. Memet, dan Yogi dibodohi
walikota Ateng.
Semua yang kita paparkan di atas adalah
fakta dan data. Hal ini sengaja dilakukan dengan maksud mengungkapkan
sejarah Pancasila dan akibat-akibat penerapan serta dampak negatifnya
bagi perkembangan demokrasi dan pertumbuhan keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar